Connect with us

Nasional

Presiden Didesak agar Instruksikan Pembenahan Polri, Marak Kekerasan oleh Aparat

Published

on

INFOKA.ID – Presiden Joko Widodo diminta untuk menginstruksikan pembenahan internal Kepolisian RI ( Polri). Pasalnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan ( Kontras) menerima laporan terkait maraknya praktik kekerasan yang dilakukan aparat dalam menangani aksi unjuk rasa, termasuk pada aksi menolak Undang-Undang Cipta Kerja pada 6 hingga 8 Oktober 2020.

“Kontras mendesak Presiden Joko Widodo untuk menginstruksikan pembenahan di tubuh Polri, dimulai dari instruksi kepada Polri untuk melakukan penegakan hukum terhadap seluruh peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian dengan melibatkan lembaga pengawas eksternal, masyarakat sipil, secara independen,” kata Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti, dalam siaran pers yang dilansir dari Kompas.com, Jumat (13/11/2020).

Fatia menuturkan, melalui kanal partisipasi, Kontras mendapat 1.900 dokumentasi berbentuk foto dan video yang menunjukkan praktik kekerasan oleh aparat kepolisian.

Praktik kekerasan yang dimaksud antara lain mengintimidasi dan merepresi massa aksi dengan memaki, menyemprotkan air dengan water cannon, menembakkan gas air mata, memukul, menendang, dan berbagai tindakan tidak manusiawi lainnya secara berulang-ulang.

Korbannya pun beragam, mulai dari mahasiswa, aktivis, buruh, jurnalis, hingga warga yang tidak ada kaitannya dengan aksi unjuk rasa.

“Kami menilai penggunaan kekuatan oleh Polri bukan lagi sebagai upaya penegakan hukum ataupun menjaga keamanan, melainkan sebagai bentuk relasi kuasa antara negara dengan warga negara dalam bentuk penghukuman tidak manusiawi kepada massa aksi dalam rangka memberangus kebebasan berekspresi, berkumpul, dan menyampaikan pendapat,” kata Fatia.

Aksi kekerasan tersebut, lanjut Fatia, juga ditemukan pada sejumlah aksi yang terjadi pada 2019 seperti aksi May Day di Bandung, aksi di Bawaslu pada Mei 2019, dan aksi Reformasi Dikorupsi.

Menurut Fatia, ketiga peristiwa itu menunjukkan pola yang sama yakni penggunaan kekuatan secara eksesif, tindak penghukuman yang tak manusiawi, serta tidak adanya pengusutan serius kepaada aparat yang melakukan kekerasan.

Pola lain yang ditemukan adalah sulitnya mengakses informasi mengenai keberadaan peserta aksi yang ditangkap dan ditahan serta adanya upaya menghalangi akses bantuan hukum.

Fatia mengatakan, peristiwa tersebut berulang karena tidak ada mekanisme akuntabilitas negara yang efektif dan memberikan keadilan kepada korban.

“Minimnya ruang akuntabilitas serta mekanisme koreksi yang lemah serta tidak efektif mengakibatkan keberulangan pelanggaran HAM di sektor kebebasan berekspresi, berkumpul, dan menyampaikan pendapat,” kata Fatia.

Selain itu, Kontras juga mendesak Jokowi agar menginstruksikan dilakukannya penegakan hukum serta memaksimalkan mekanisme koreksi, baik internal maupun eksternal, pada setiap Kepolisian Daerah untuk mengusut tuntas kasus kekerasan oleh aparat.

Kemudian, Jokowi didesak untuk mengevaluasi kinerja Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis perihal brutalitas aparat kepolisian dalam menangani aksi massa. (*)

Sumber: Kompas.com