Connect with us

Nasional

UU Cipta Kerja Jadi UU Pertama yang Salah Ketik Setelah Diteken Presiden

Published

on

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyebut, salah ketik dalam draf undang-undang pernah terjadi saat ia menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Namun kala itu, kesalahan pengetikan terjadi ketika draf UU belum diteken presiden.

UU Cipta Kerja, kata dia, menjadi undang-undang pertama yang didapati kesalahan pengetikan pasca naskahnya ditandatangani Kepala Negara.

“Pengalaman-pengalaman saya di masa-masa yang lalu juga sempat terjadi. Hanya memang belum ditandatangani oleh presiden,” kata Yusril dalam acara “Rosi” yang ditayangkan YouTube Kompas TV, Kamis (5/11/2020).

“Pertama kali terjadi (UU Cipta Kerja) sudah ditandatangani presiden terus disadari ada kesalahan,” tuturnya.

Berdasarkan pengalamannya sebagai Mensesneg, Yusril mengungkap, kesalahan pengetikan dalam draf undang-undang yang sudah disahkan bukan sekali dua kali terjadi. Hanya saja, hal ini tak diungkap ke publik.

Beberapa kali ditemukan kesalahan pengetikan dalam draf UU yang dikirim ke Mensesneg pasca disepakati pemerintah dan DPR melalui rapat paripurna.

Untuk menyelesaikan persoalan itu, Mensesneg mengadakan pembicaraan dengan pimpinan DPR guna melakukan koreksi.

“Mensesneg itu mengadakan pembicaraan dengan pimpinan DPR dan dilakukan koreksi. Lalu kemudian, dengan sebuah memorandum dan catatan dari Mensesneg disampaikan kepada Presiden bahwasannya ini harus diperbaiki,” terang Yusril.

Oleh karenanya, Yusril berpandangan, salah ketik yang ada di UU Cipta Kerja bisa diperbaiki melalui pembicaraan antara pemerintah dengan DPR saja sekalipun sudah diteken presiden.

Koreksi atas kesalahan pengetikan itu selanjutnya dicatatkan pada Lembaran Negara. Proses yang demikian menurut Yusril sah-sah saja.

“Kalau kita fokus pada persoalan ini saja, tidak memperdebatkan yang lebih mendalam daripada undang-undang ini, sebenarnya itu hanyalah masalah teknis saja, tidak membawa pengaruh apapun terhadap penafsiran ataupun pengaturan di dalam undang-undang itu sendiri,” kata Yusril.

“Kalau teknis semacam itu saya mengatakan itu bisa kita selesaikan,” tuturnya.

Sebelumnya, pemerintah telah mengakui adanya kesalahan pengetikan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Hal itu diklaim pemerintah sebagai kekeliruan teknis administratif saja sehingga tak berpengaruh pada implementasi UU Cipta Kerja.

“Hari ini kita menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun, kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja,” kata Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno dalam keterangan tertulis, Selasa (3/11/2020).

Sementara, berdasarkan penelusuran Kompas.com, Selasa (3/11/2020), ditemukan kesalahan ketik yang cukup fatal pada Pasal 6 di Bab Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha.

Pasal 6 menyebutkan, peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a meliputi (a) penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; (b) penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; (c) penyederhanaan perizinan berusaha sektor; dan (d) penyederhanaan persyaratan investasi.

Namun, rujukan ke Pasal 5 Ayat (1) tidak jelas karena dalam UU Cipta Kerja Pasal 5 tidak memiliki ayat.

Pasal 5 hanya berbunyi, ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.

Kemudian, ada pula kesalahan ketik dalam Pasal 175 di Bab Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan untuk Mendukung Cipta Kerja.

Pasal 175 angka 6 mengubah Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014. Pasal 53 itu terdiri atas 5 ayat yang mengatur soal syarat sah keputusan pemerintahan.

Ayat (1) berbunyi, batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Ayat (2), jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan dan/atau pejabat pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.

Ayat (3), dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan keputusan dan/atau tindakan sebagai keputusan atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang berwenang.

Ayat (4), apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), badan dan/atau pejabat pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.

Ayat (5), ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.

Semestinya, ketentuan dalam ayat (5) merujuk pada ayat (4). Bukan pada ayat (3) sebagaimana yang ditulis dalam UU Cipta Kerja. (*)

Sumber: Kompas.com

Facebook

Pos-pos Terbaru

Advertisement
Advertisement